Kamis, 11 Mei 2017

Starting Again

Starting?

Apa yang sedang dimulai nih?

Apa yang dimulai lagi?

Mulai saat ini, saya akan lebih rajin menulis di blog ini. Karena memang banyak ide dan tulisan yang belum pernah saya publikasikan melalui blog ini. Selain itu, keinginan saya untuk melanjutkan menulis buku juga akan saya mulai dari sini, saat ini, dan sampai nanti. Salah satu alasan saya menulis lagi adalah karena memang dengan menulis, saya bisa menumpahkan semua isi kepala saya dan isi hati saya melalui tulisan. 

Tulisan ini saya mulai menjelang Bulan Ramadhan 1438 H. Kenapa sih mulai menulisnya menjelang ramadhan? bukankah pada saat ramadhan nanti kita harus lebih banyak beribadah seperti membaca al quran atau datang ke kajian-kajian?. Memang itu benar, menulis pada saat menjelang ramadhan itu sangat mengasyikkan lho. Gak percaya?. Baiklah saya akan beritahu beberapa keasyikkan dalam menulis ketika bulan ramadhan. 

1. Bulan Ramadhan itu bulan penuh rahmat.

Bulan Ramadhan merupakan salah satu bulan yang diistimewakan oleh umat islam, karena pada bulan inilah banyak peristiwa penting yang terjadi. Bulan Ramadhan merupakan bulan yang diwajibkan bagi setiap muslim yang sudah baligh untuk berpuasa sebulan penuh. Selain itu, pada bulan ini juga terdapat sebuah keistimewaan dibandingkan bulan yang lainnya, karena pada bulan ramadhan ini ada malam yang lebih baik dari malam seribu bulan. Bayangkan saja pahala yang bisa didapatkan melebihi pahala seseorang yang beribadah selama seribu bulan tanpa henti. Malam itu adalah malam lailatul qadar. 

Bulan ramadhan juga merupakan bulan dimana diturunkan wahyu pertama kepada Rasulullah Muhammad SAW. Ayat pertama yang diturunkan berbunyi "Bacalah". Jika kita artikan secara langsung, Allah memerintahkan agar manusia membaca tuntunan hidupnya yaitu Al Quran yang diturunkan pada Bulan Ramadhan ini. Apabila kita mengartikan kata "bacalah" ini lebih dalam lagi, maka kita akan mengetahui bahwa kita dituntut untuk senantiasa belajar sejak kita dilahirkan hingga akhir hayat. 

Keistimewaan bulan ramadhan tidak berakhir disana saja. Masih banyak keutamaan yang bisa diraih saat bulan ramadhan. Inilah alasan saya memulai menulis menjelang bulan ramadhan, karena semakin banyak tulisan saya dibaca, semakin banyak ilmu yang dibagikan, maka semakin banyak pula pahala yang didapatkan. Keberkahan dalam menebar manfaat melalui menulis inilah yang ingin saya raih di bulan ramadhan. Oleh karena itu, saya memulai menulis lagi, tidak hanya melalui blog ini saja, tetapi juga mulai menuliskan berbagai kisah yang bisa dibagikan melalui buku. Mohon doanya agar buku saya bisa segera ditulis dan diselesaikan, kalau hanya ditulis tapi tidak diselesaikan ya tidak akan pernah sampai pada pembaca. Sehingga tidak bisa membagikan manfaat kepada pembaca dari buku saya nanti.

2. Bulan Ramadhan itu membuat kita lebih produktif.

Entah Anda setuju atau tidak dengan pernyataan saya bahwa bulan ramadhan merupakan bulan yang membuat kita semakin produktif, tapi pastinya pada bulan ramadhan ini kita lebih banyak waktu luang dan kesempatan beribadah lebih banyak dibandingkan dengan bulan-bulan lainnya. Anda tentu menyadari bahwa waktu bekerja Anda di kantor pasti berkurang selama bulan ramadhan, karena biasanya masuknya lebih siang atau pulangnya lebih awal. 

Inilah kesempatan kita untuk lebih produktif lagi. Selain produktif dalam beribadah dengan meningkatkan intensitas beribadahnya, kita juga bisa meningkatkan intensitas kita dalam menulis. Karena kesempatan kita untuk menulis akan lebih banyak dengan adanya pemangkasan jam kerja. Jika biasanya dalam sehari kita bisa menyelesaikan 2 atau 3 tulisan dalam sehari, ketika ramadhan bisa kita tambah intensitas menulisnya sehingga dalam sehari bisa menghasilkan lebih dari 5 tulisan setiap hari. Jika kita kalikan 30 hari, total sudah ada 150 tulisan yang masing-masing tulisan terdiri dari 4 halaman. Jumlahnya sangat banyak tulisan yang bisa kita selesaikan yaitu sekitar 600 halaman dalam sebulan. Tentu ini bukan jumlah yang sedikit untuk sebuah buku, bahkan kalau boleh jujur kepada pembaca, tulisan 600 halaman itu hampir sama dengan 6 kali ketebalan skripsi saya. 

Pada bulan ramadhan kita bisa memanfaatkan waktu setelah makan sahur untuk mulai membuat outline tulisan kita, kemudian seusai shalat subuh kita lanjutkan dengan menuliskan tulisan pertama kita. Begitu juga sebelum dzuhur, ashar, maghrib dan sebelum tidur, kita bisa membuat tulisan masing-masing 4 halaman saja, pasti target 600 halaman itu bakalan tercapai dalam waktu sebulan dan bisa Anda kirimkan kepada penerbit untuk dilihat layak atau tidak diterbitkan. Menulis itu memang butuh keseriusan dan ketekunan, sehingga kita harus bisa melawan ego kita sendiri untuk mau meluangkan waktu dalam menulis tulisan kita, apapun bentuk tulisannya, yang penting nulis dan bikin jejak kehidupan melalui tulisan. Jika kau ingin dikenang sepanjang masa, maka mulailah menulis.

3. Bulan Ramadhan itu membuat otak kita bekerja lebih optimal.

Lho kok bisa sih ketika bulan ramadhan membuat kita bekerja lebih optimal?. 
Begini saya beritahu, karena pada bulan ramadhan kita tidak perlu mikirin makan siang, sehingga kegiatan pekerjaan kita gak keganggu dengan bayang-bayang makanan untuk menu makan siang serta kebingungan kita untuk membeli dimana makanan tersebut. Selama bulan ramadhan, kita tidak perlu susah payah memikirkan makan siang. Waktu istirahat kita hanya terpakai untuk sholat dzuhur saja, setelah itu kita bisa mulai menulis lagi. Jelas berbeda halnya jika diluar bulan ramadhan, karena kalau diluar bulan ramadhan, kita akan bingung mikir mau makan apa, makan dimana, makan sama siapa, sholatnya gimana. 

Jika pada saat bulan-bulan selain ramadhan, kita bangun pagi sebelum subuh atau pas mepet sama waktu subuh, kemudian baru persiapan berangkat kerja. Beda halnya jika pada saat bulan ramadhan, kita sudah bangun sebelum jam 3 pagi untuk mempersiapkan makan sahur, kemudian dilanjutkan dengan tahajud, sampai kemudian dilanjutkan sholat subuh. Seusai sholat subuh biasanya sudah banyak yang berangkat bekerja karena takut kena macet atau biar bisa sampai di tempat kerja lebih awal. 

........

Nah, bagaimana? mau menunda untuk menulis? ayo mulai menulis ya. biar makin produktif.

Kamis, 04 Mei 2017

Mahalnya harga sebuah Kejujuran

Apa yang terlintas dalam benak Anda ketika mendengar kata jujur atau kejujuran?

Apakah Anda berpikir bahwa kejujuran itu adalah hal yang langka akhir-akhir ini?

Ataukah kejujuran ini masih sangat mudah dijumpai dalam kehidupan kita?

Coba Anda lihat ke sekeliling Anda, masih adakah orang yang berkata jujur?

Masih adakah mereka yang dengan terang-terangan mengatakan bahwa saya telah berbohong?

Masihkah Anda menjumpai manusia yang dengan bangga menunjukkan kepada dunia bahwa dia masih berkata jujur?

Tentu pertanyaan-pertanyaan diatas adalah sedikit diantara pertanyaan yang muncul jika kita mendengar kata jujur. Memang sudah cukup sulit kita melihat orang jujur akhir-akhir ini. Dunia pendidikan kita mengajarkan untuk tidak jujur dengan memalsukan nilai siswa. Beruntunglah jika orangtua kita masih memberikan bekal kejujuran dalam diri kita, sehingga kemanapun kaki ini melangkah, kejujuran selalu kita tegakkan. 

Saya terlahir dari keluarga yang sangat menjunjung tinggi kejujuran. Sejak kecil saya selalu diajarkan untuk berkata jujur dan berani mengakui kesalahan. Sampai pada saat saya SD, saya dengan tegas mengatakan bahwa saya tidak ingin menyontek ketika ujian. Alhasil nilai saya jelek dan ibu bertanya kenapa tidak ikut menyontek seperti teman-teman yang lainnya? saya dengan tegas menjawab bahwa dulu ibuk dan bapak mengajarkan saya untuk jujur, lalu kenapa saat sekarang saya jujur malah disuruh gak jujur?. Jawaban saya itu membuat ibu saya terdiam.

Kejujuran di dunia pendidikan itu memang sangat penting, bahkan hanya segelintir guru yang menanamkan nilai-nilai kejujuran di sekolah. Pada saat saya menghadapi ujian nasional ketika SMP, guru-guru meminta agar saya menyontek saja demi kelulusan saya. Hal ini dikarenakan nilai matematika saya yang kurang. Justru guru Matematika saya menguatkan saya untuk tidak menyontek. Beliau berpesan bahwa lebih membanggakan lulus dengan nilai sendiri daripada lulus dari hasil menyontek. Saya sendiri sampai dibenci oleh guru-guru yang lain karena ulah saya yang gak mau menyontek saat ujian nasional. Karena saya lebih bangga lulus dengan nilai saya sendiri, bukan nilai hasil kompromi. 

Ketika menginjak jenjang SMA, hal yang sama juga terjadi ada diri saya. Karena nilai matematika sa yang selalu dibawah rata-rata, saat saya kelas XI guru matematika saya mengatakan bahwa saya tidak akan lulus UN SMA. Saya tentu sedih karena ada pendidik yang mengatakan hal itu dihadapan murid dan terjadi di ruang guru. Saya berhasil membuktikan bahwa saya bisa lulus UN bahkan diterima di PTN melalui jalur tes. Teman-teman saya yang selalu beliau banggakan justru tersungkur dan tidak bisa lolos seleksi masuk PTN.

Semasa saya kuliah, saya menemukan bahwa rekan-rekan yang masih mempertahankan nilai-nilai kejujuran itu masih cukup banyak. Sehingga saya merasa masih memiliki teman untuk berjuang bersama. Sampai ketika saya lulus kuliah, saya ditawari mengisi posisi kepala sekolah di sebuah lembaga pendidikan. Disini kejujuran saya sangat diuji, karena atasan saya melakukan penggelapan uang sementara saya mengetahuinya. Akhirnya saya laporkan hal ini kepada pemilik usaha, ternyata malah saya yang disingkirkan karena kejujuran saya. 

Memegang erat kejujuran itu sangatlah sulit, seperti yang dikatakan sahabat Nabi bahwa kejujuran adalah kebaikan abadi. Memang kejujuran itu adalah kebaikan abadi, dengan kejujuran yang kita miliki, maka berbagai kebaikan mengikuti. Sungguh ironis jika seorang pendidik tidak memiliki semangat yang tinggi untuk menjaga kejujuran. Apalagi pendidik tersebut yang mengajarkan kebohongan kepada siswanya. 

Apabila pendidiknya saja sudah tidak bisa jujur dengan kehadirannya, tidak bisa jujur dengan anggaran yang digunakannya, tidak bisa jujur dengan administrasi yang dia kelola, lalu bagaimana nasib siswanya?. Mereka setiap hari disajikan contoh yang kurang baik didepan mata mereka oleh guru-gurunya. Apakah yang seperti ini masih pantas dan layak disebut sebagai guru yang bertugas mendidik dan memberikan teladan yang baik kepada siswanya?. Saya rasa tidak layak mereka disebut pendidik, karena semangat yang mereka miliki bukan semangat pendidik, melainkan semangat perusak masa depan bangsa ini.







Tulisan ini dibuat masih dalam rangka Hari Pendidikan Nasional 2017. Tulisan ini saya buat sebagai ungkapan kekecewaan saya pada para pendidik yang tidak memberikan contoh baik kepada siswanya. Semoga kedepannya banyak pendidik yang memiliki semangat untuk membangun negeri ini, semoga semakin banyak pendidik yang memiliki tingkat kejujuran tinggi. 




Sukabumi, 04 Mei 2017