Kamis, 04 Mei 2017

Mahalnya harga sebuah Kejujuran

Apa yang terlintas dalam benak Anda ketika mendengar kata jujur atau kejujuran?

Apakah Anda berpikir bahwa kejujuran itu adalah hal yang langka akhir-akhir ini?

Ataukah kejujuran ini masih sangat mudah dijumpai dalam kehidupan kita?

Coba Anda lihat ke sekeliling Anda, masih adakah orang yang berkata jujur?

Masih adakah mereka yang dengan terang-terangan mengatakan bahwa saya telah berbohong?

Masihkah Anda menjumpai manusia yang dengan bangga menunjukkan kepada dunia bahwa dia masih berkata jujur?

Tentu pertanyaan-pertanyaan diatas adalah sedikit diantara pertanyaan yang muncul jika kita mendengar kata jujur. Memang sudah cukup sulit kita melihat orang jujur akhir-akhir ini. Dunia pendidikan kita mengajarkan untuk tidak jujur dengan memalsukan nilai siswa. Beruntunglah jika orangtua kita masih memberikan bekal kejujuran dalam diri kita, sehingga kemanapun kaki ini melangkah, kejujuran selalu kita tegakkan. 

Saya terlahir dari keluarga yang sangat menjunjung tinggi kejujuran. Sejak kecil saya selalu diajarkan untuk berkata jujur dan berani mengakui kesalahan. Sampai pada saat saya SD, saya dengan tegas mengatakan bahwa saya tidak ingin menyontek ketika ujian. Alhasil nilai saya jelek dan ibu bertanya kenapa tidak ikut menyontek seperti teman-teman yang lainnya? saya dengan tegas menjawab bahwa dulu ibuk dan bapak mengajarkan saya untuk jujur, lalu kenapa saat sekarang saya jujur malah disuruh gak jujur?. Jawaban saya itu membuat ibu saya terdiam.

Kejujuran di dunia pendidikan itu memang sangat penting, bahkan hanya segelintir guru yang menanamkan nilai-nilai kejujuran di sekolah. Pada saat saya menghadapi ujian nasional ketika SMP, guru-guru meminta agar saya menyontek saja demi kelulusan saya. Hal ini dikarenakan nilai matematika saya yang kurang. Justru guru Matematika saya menguatkan saya untuk tidak menyontek. Beliau berpesan bahwa lebih membanggakan lulus dengan nilai sendiri daripada lulus dari hasil menyontek. Saya sendiri sampai dibenci oleh guru-guru yang lain karena ulah saya yang gak mau menyontek saat ujian nasional. Karena saya lebih bangga lulus dengan nilai saya sendiri, bukan nilai hasil kompromi. 

Ketika menginjak jenjang SMA, hal yang sama juga terjadi ada diri saya. Karena nilai matematika sa yang selalu dibawah rata-rata, saat saya kelas XI guru matematika saya mengatakan bahwa saya tidak akan lulus UN SMA. Saya tentu sedih karena ada pendidik yang mengatakan hal itu dihadapan murid dan terjadi di ruang guru. Saya berhasil membuktikan bahwa saya bisa lulus UN bahkan diterima di PTN melalui jalur tes. Teman-teman saya yang selalu beliau banggakan justru tersungkur dan tidak bisa lolos seleksi masuk PTN.

Semasa saya kuliah, saya menemukan bahwa rekan-rekan yang masih mempertahankan nilai-nilai kejujuran itu masih cukup banyak. Sehingga saya merasa masih memiliki teman untuk berjuang bersama. Sampai ketika saya lulus kuliah, saya ditawari mengisi posisi kepala sekolah di sebuah lembaga pendidikan. Disini kejujuran saya sangat diuji, karena atasan saya melakukan penggelapan uang sementara saya mengetahuinya. Akhirnya saya laporkan hal ini kepada pemilik usaha, ternyata malah saya yang disingkirkan karena kejujuran saya. 

Memegang erat kejujuran itu sangatlah sulit, seperti yang dikatakan sahabat Nabi bahwa kejujuran adalah kebaikan abadi. Memang kejujuran itu adalah kebaikan abadi, dengan kejujuran yang kita miliki, maka berbagai kebaikan mengikuti. Sungguh ironis jika seorang pendidik tidak memiliki semangat yang tinggi untuk menjaga kejujuran. Apalagi pendidik tersebut yang mengajarkan kebohongan kepada siswanya. 

Apabila pendidiknya saja sudah tidak bisa jujur dengan kehadirannya, tidak bisa jujur dengan anggaran yang digunakannya, tidak bisa jujur dengan administrasi yang dia kelola, lalu bagaimana nasib siswanya?. Mereka setiap hari disajikan contoh yang kurang baik didepan mata mereka oleh guru-gurunya. Apakah yang seperti ini masih pantas dan layak disebut sebagai guru yang bertugas mendidik dan memberikan teladan yang baik kepada siswanya?. Saya rasa tidak layak mereka disebut pendidik, karena semangat yang mereka miliki bukan semangat pendidik, melainkan semangat perusak masa depan bangsa ini.







Tulisan ini dibuat masih dalam rangka Hari Pendidikan Nasional 2017. Tulisan ini saya buat sebagai ungkapan kekecewaan saya pada para pendidik yang tidak memberikan contoh baik kepada siswanya. Semoga kedepannya banyak pendidik yang memiliki semangat untuk membangun negeri ini, semoga semakin banyak pendidik yang memiliki tingkat kejujuran tinggi. 




Sukabumi, 04 Mei 2017

Tidak ada komentar:

Posting Komentar