8 oktober 2015, ketika itu aku menjalani rutinitasku seperti biasa. Aku mengawali hari seperti hari-hari biasanya, tanpa ada perasaan aneh. Ketika hari beranjak siang, aku ke tempatku mengajar di kawasan Kampung Makasar Jakarta Timur.
Hari itu adalah Hari Kamis, aku mengenakan celana bahan berwarna hitam, batik hitam dan sepatu kets berwarna dominan hitam dengan garis biru pemberian seseorang. Seusai sholat dzuhur, aku mengambil uang kiriman dari bapak, waktu itu memang aku hanya bekerja paruh waktu dengan status mahasiswa "gak lulus-lulus" yang penghasilannya tidak pasti. Aku masih mengandalkan kiriman dari bapak untuk mencukupi kehidupanku di Jakarta waktu itu. Inilah kiriman uang terakhir yang akhu terima dari bapak, karena setelah itu bapak tidak pernah mengirimiku uang lagi selamanya.
Benar sekali, bapakku meninggal dunia pada Hari Kamis sore menjelang maghrib. Waktu itu aku baru selesai sholat maghrib dan membuka sms dari Ibuk, meskipun itu yang mengirimkan sms adalah adikku yang paling kecil. Isi sms itu adalah "kak, aku krungu bapak meninggal", artinya "kak, aku dengar bapak meninggal". Kala itu dia masih SMP kelas 8 saat mengirimkan sms itu, dia hanya mendengar dari orang-orang bahwa bapak meninggal. Aku tahu dia mengalami shock, karena dia yang paling dekat dengan bapak selama ini. Dia juga tidak berani mengabari ke kakaknya yang kuliah di Malang karena pasti akan lebih shock, sehingga dia mengirimkan pesan kepadaku saat itu. Aku kemudian bertanya kepadanya, emangnya kamu dapat kabar dari siapa?. Karena pada waktu itu aku masih belum sadar penuh bahwa bapak telah tiada.
Beberapa saat kemudian, sepupuku menelepon dengan nomor ibuk, memintaku untuk segera pulang. Aku tidak diberitahu alasan mengapa aku harus segera pulang. Dia meminta malam ini segera pulang karena bapak sedang sakit keras. Saat itu juga kebingunganku semakin menjadi-jadi, uang yang ada di dompetku hanya 300ribu, kiriman dari bapak tadi pagi. Aku harus pulang tidak mungkin naik bis karena sudah berangkat semua yang ke daerahku, aku juga tidak mungkin naik kereta karena sulit mendapatkan tiket go show. Mau tidak mau aku harus naik pesawat terbang.
Aku kebingungan setengah mati mencari pinjaman uang untuk pulang ke rumah, ketika itu hapeku juga hanya bisa telepon dan sms saja. Aku menghubungi beberapa orang yang mungkin bisa membantuku, ternyata mereka tidak bisa. Hanya ada satu orang yang membantuku, yaitu pacarku saat itu. Dia mengirimiku sejumlah uang untuk membeli tiket pesawat, saat itu juga aku langsung menuju bandara halim untuk menanyakan tiket penerbangan saat itu. Tiket masih ada satu untuk penerbangan terakhir menggunakan maskapai Citilink, aku segera tarik tunai untuk membayar tiket itu. Tetapi saat aku kembali, tiket itu sudah terjual.
Aku segera menuju Pusat Grosir Cililitan untuk menggunakan angkutan pemadu moda menuju Bandara Soekarno Hatta, kala itu aku menggunakan bis terakhir menuju Soetta. Sepanjang perjalanan aku tak berhenti meneteskan airmata karena semakin banyaknya ucapan belasungkawa yang masuk. Aku segera menuju terminal 3 untuk mencari tiket Airasia menuju Surabaya, semua tiket ludes terjual.
Aku menghubungi saudaraku yang biasa menggunakan pesawat dari Soetta menuju Surabaya, segera diminta menuju ke Terminal 1 untuk mencari tiket Sriwijaya atau Citilink. Waktu itu aku langsung menuju Citilink, karena aku tahu maskapai ini memiliki jadwal penerbangan yang banyak ke Surabaya.
Jam sudah menunjukkan pukul sembilan lewat, penerbangan Citilink selanjutnya adalah pukul 10 malam. Aku segera bertanya kepada petugas yang jaga malam itu, apakah masih ada tiket penerbangan ke Surabaya saat itu juga, mereka awalnya mengatakan sudah penuh semuanya. Kalaupun mau ada untuk Garuda jam setengah 11 malam, tapi harga tiketnya sangat mahal dan uangku tidak cukup, akhirnya aku memutuskan untuk bertanya lagi, apakah tidak ada penerbangan Citilink malam ini ke Surabaya yang masih kosong kursinya karena kondisi DARURAT. Kalau itu saya sampai memelas kepada petugas Customer Service Citilink di Bandara agar diberikan tiket ke Surabaya.
Setelah melalui negosiasi dengan petugas check in di dalam dan petugas onboard, saya diberikan satu tiket tanpa bagasi oleh maskapai Citilink. Saat tiket dicetak, waktu menunjukkan pukul 21.30 WIB, artinya semua penumpang sudah proses masuk ke dalam pesawat. Saya dibantu petugas Citilink segera berlari mengejar waktu karena pesawat berangkat ontime. Begitu saya masuk ke pesawat, beberapa saat kemudian pintu ditutup dan pesawat segera lepas landas. Sepanjang perjalanan di pesawat aku tak bisa tidur, karena kursi di sebelahku kosong dan aku merasakan kehadiran bapak di sebelahku. Dia tersenyum kepadaku, meskipun perasaanku sangat sedih saat itu.
Begitu sampai di Surabaya, aku segera mencari tempat makan untuk mengisi perut sambil menunggu adikku yang dari Malang. Aku dihubungi oleh ibuk dan diminta menunggu adikku saja, jangan pulang naik bis atau travel. Padahal malam itu aku sudah ingin menggunakan bis dan turun Tuban kota kemudian minta dijemput. Perasaanku semakin tak menentu, mungkin pelayan di rumah makan tempatku makan malam tahu bahwa aku sedang sedih, beberapa kali aku mengusap airmataku yang jatuh ke pipi.
Kesedihan yang sangat mendalam kala itu aku rasakan karena kehilangan sosok seorang pahlawan dalam kehidupanku. Bapak yang selama ini memperjuangkan agar anak-anaknya bisa menjadi sarjana telah pergi untuk selama-lamanya. Dia bahkan tidak bisa menghadiri wisudaku di Bulan Maret 2016, padahal dia sangat ingin melihat anaknya menjadi seorang sarjana.
Ketika pemakamannya, lambaian tangan terakhirnya sebelum bapak ditutup dengan kayu menjadi lambaian tangan terakhirnya. Kala itu wajahnya begitu ganteng, rambutnya baru dicukur dan dia tersenyum. Berat rasanya ditinggal sosok seperti bapakku ini.
Bapak, 2 Tahun kepergianmu tapi aku tak pernah merasakan kau benar-benar pergi dari kehidupanku. Kau selalu ada dan hidup bersamaku. Bapak, tanggal 14 Oktober nanti salah satu cita-citamu akan terwujud, Mamat akan diwisuda sebagai seorang sarjana.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar